Terlebih jika ada intruksi terselubung menggerakkan pejabat ASN untuk mendukung salah satu paslon yang dilakukan secara terstrutur, sistematis dan masif, Paslon yang terlibat dapat dikenakan sanksi administratif TSM yaitu pembatalan paslon.
MUSIRAWAS,PWO- Penggiat Pemilu, Khoirul Anwar, S.Pi,MH Koordinator Akademi Pemilu Demokrasi (APD) Kabupaten Musi Rawas dalam siaran persnya yang diterima awak media, Kamis (7/11) menuturkan, Kejadian dugaan pelanggaran pemilihan yang dilakukan oleh Lurah Kelurahan Sumberharta Kabupaten Musi Rawas pada Jumat tanggal 1 November 2024 telah menggemparkan publik.
"Berdasarkan keterangannya, jika kejadian tersebut dapat dibuktikan kebenarannya, merupakan preseden yang sangat buruk bagi demokrasi di Musi Rawas,"
Biasanya, kata Khoirul, Paslon Kepala Daerah yang berasal dari petahana, memiliki potensi kerawanan pelanggaran keterlibatan ASN yang turut aktif mendukung paslon petahana.
Petahana memiliki potensi akan menggunakan kekuasaannya untuk mengerahkan infrastruktur yang ada baik melakukan penekanan terhadap ASN, kebijakan dan keputusannya.
Dikatakan, pelaksanaan Pilkada serentak ini bukan baru pertama kali ini dilaksanakan di Musi Rawas, namun sudah tiga kali dilaksanakan dengan menggunakan UU Pilkada yang sama meskipun ada beberapa perubahan namun tidak merubah terkait larangan dan sanksi pelanggaran.
Artinya, peserta pilkada baik paslon dan partai pengusung sudah mengetahui tentang norma-norma hukum yang mengatur Pilkada serta larangan - larangannya.
Hal ini diketahui berdasarkan pengalamannya saat pernah menjadi anggota Bawaslu di Kab. Musi Rawas periode sebelumnya.
Ia mengatakan setiap pelaksanaan Pilkada, Bawaslu akan melakukan kajian Indeks Kerawanan Pilkada. Pada pendataan IKP tersebut pontesi yang sering muncul adalah netralitas ASN dan money politik.
Menyinggung terkait kejadian kasus Lurah Sumberharta yang kedapatan oleh warganya sedang membawa dokumen data pemilih salah satu paslon, menurut Khoirul, dapat berpotensi melanggar sanksi adminstratif, kode etik ASN dan bahkan tindak pidana pemilihan.
"Oknum lurah yang diduga sedang melakukan pendataan warganya untuk mendukung salah satu paslon, melanggar ketentuan pasal 71 ayat (1) terkait pejabat negara, TNI/Polri, ASN dan Kepala Desa/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu paslon,"jelasnya
Ancaman dari ketentuan ini, demikian Khoirul Anwar, adalah pidana sebagaimana diatur di pasal 188 UU pilkada yakni penjara paling singkat 1 bulan paling lama 6 bulan.
Tidak berhenti disitu, oknum lurah tersebut juga berpotensi melanggar ketentuan netralitas ASN dengan sanksi ringan, sedang dan berat.
Bahkan terkait sanksi kode etik ini, Bawaslu cukup melakukan kajian awal saja tanpa memanggil oknum lurah tersebut untuk meneruskan langsung ke Badan kepegawaian Nasional, selanjutnya BKN yang akan melakukan kajian dan putusan pelanggarannya.
Selanjutnya terkait kasus ini Bawaslu tidak harus menunggu laporan dari masyarakat, karena kejadian ini sudah viral di medsos dan bukti pendukung bahkan sudah diviralkan oleh masyarakat.
Tinggal Bawaslu memastikan kevalidan barang bukti yang menyertai adanya dugaan keterlibatan oknum lurah tersebut. Kalaupun kejadian ini sudah masuk laporan ke Bawaslu, Bawaslu juga dapat mengembangkan kasus ini.
Jika benar oknum lurah tersebut melakukan pelanggaran pilkada, apakah inisiatif sendiri atau ada intruksi terselubung yang dilakukan oknum-oknum pejabat lainnya.
Bawaslu harus melakukan penelusuran untuk menguatkan kajian awalnya sebelum ditregister laporannya. Ujar Khoirul yang juga pernah menjabat sebagai kordiv penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa di Bawaslu Kab. Musi Rawas periode sebelumnya.
Terlebih jika ada intruksi terselubung menggerakkan pejabat ASN untuk mendukung salah satu paslon yang dilakukan secara terstrutur, sistematis dan masif, Paslon yang terlibat dapat dikenakan sanksi administratif TSM yaitu pembatalan paslon.
Kendala penanganan kasus pelanggaran pilkada yang dilakukan oleh Bawaslu adalah pada waktu penanganan kajian pelanggaran.
Bawaslu dituntut menangani sebuah kasus dalam waktu 3 plus 2 hari untuk melakukan kajian. Artinya Komisioner Bawaslu dituntut kerja profesional dan mampu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran pemilu dalam waktu singkat tersebut.
Jika bawaslu serius dalam menangani kasus seperti kejadian oknum lurah ini, Bawaslu dapat meminta keterangan saksi ahli untuk dimintai keterangan ahli.
Jadi Bawaslu tidak bertumpu pada saksi-saksi yang harus dihadirkan oleh pelapor, Bawaslu juga dapat jemput bola mendapatkan keterangan saksi ahli untuk meyakinkan rekan-rekan di Sentra Gakkumdu (Kepolisian dan Kejaksaan) terkait dugaan pelanggaran oknum lurah tersebut.
Kalau menurut saya, dengan adanya video dan bukti dokumen data pemilih untuk memilih paslon tertentu itu sudah terpenuhi unsur pelanggaran tindak pidana pemilihan sesuai pasal 71 jo pasal 188 dan melanggar kode etik ASN berdasarkan ketentuan UU 5 tahun 2014 tentang ASN dan PP No. 94 tahun 2021 tentang larangan ASN.
Namun Bawaslu dan sentra gakkumdulah yang dapat menilai keterpenuhan unsur-unsur pelanggarannya.
Khoirul mendesak agar Bawaslu dapat menangani kasus oknum lurah tersebut. Kejadian ini telah menciderai demokrasi di musi rawas, bahkan beritanya sudah viral ke daerah-daerah lainnya.
Bawaslu dapat memproses kasus ini agar tidak terulang kembali kejadian yang serupa. Meminta kepada seluruh paslon untuk menahan diri agar tidak mengorbankan ASN untuk dijadikan subjek suksesi mendapatkan kekuasaannya.
"Biarkan ASN tetap menjadi pelayan masyarakat yang profesional sesuai ketentuan yang ada,"pungkasnya. (Pasmas)