Cepat Tepat dan Akurat




Monday, May 8, 2023

Dinamika Pemutakhiran Data Pemilih di Tengah Realitas Masyarakat yang Dinamis

oleh : Ahmad Hadziq
Anggota KPU Tanjung Jabung Barat

Pemutakhiran data pemilih selalu menjadi salah satu tahapan yang banyak
diperbincangkan di setiap pemilu. Adalah wajar mengingat data pemilih erat kaitannya dengan tahapan lain di pemilu seperti logistik, TPS.

Namun mengelola daftar pemilih bukanlah perkara mudah meskipun datanya sendiri sudah tersedia melalui DPT terakhir dan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yang diserahkan pemerintah. 
 
Proses pemutakhiran data pemilih akan melewati berbagai macam dinamika di tengah realitas masyarakat yang dinamis. Mulai dari permasalahan domisili yang tidak sesuai dengan administrasi kependudukan, masyarakat yang belum merekam KTP elektronik, masyarakat yang sudah tercatat melakukan perekaman tapi belum memegang KTP secara fisik, hingga
permasalahan warga binaan di lembaga pemasyarakatan (lapas).

Alur Pemutakhiran Data Pemilih Tanggal 12 Februari 2023 penanda dimulainya masa pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih Pemilu 2024 yang kemudian berakhir pada 14 Maret 2023. 
 
Seperti yang telah disampaikan pada paragraf di atas, menyusun data pemilih pemilu di Indonesia bukanlah sesuatu hal yang sederhana. Data pemilih dihasilkan melalui alur proses olah data yang panjang, melelahkan dengan melibatkan multi aktor dan institusi serta regulasinya masing-masing. Pada sisi administrasi kependudukan, ada Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri yang memiliki otoritas menghasilkan data kependudukan, yang kemudian diolah menjadi DP4 untuk selanjutnya diserahkan ke KPU Republik Indonesia. Setelah KPU RI menerima DP4 dan di sinkronisasi, lalu data DP4 hasil sinkronisasi itu disandingkan
dengan data DPT pemilu terakhir. Data hasil sandingan itulah yang kemudian diserahkan oleh KPU RI ke KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota untuk dimutakhirkan dan dicoklit.

KPU kabupaten/kota kemudian membentuk petugas pemutakhiran data pemilih (Pantarlih) yang bertugas melakukan pendataan pemilih dari rumah ke rumah. Coklit dilakukan petugas Pantarlih dengan mencocokkan data pemilih yang ada di DP4 hasil sinkronisasi dengan DPT pemilu terakhir dengan dokumen kependudukan yang dimiliki penduduk berupa KTP
elektronik dan/atau Kartu Keluarga (KK) yang memenuhi syarat untuk memilih. Setelah Pantarlih melakukan pendataan pemilih dari rumah ke rumah, data ini dicatat, diteliti dan dilaporkan secara berjenjang dari Pantarlih ke PPS, PPS ke PPK dan PPK diteruskan ke KPU kabupaten/kota untuk kemudian daftar pemilih hasil pemuktahiran itu direkapitulasi dan ditetapkan menjadi daftar pemilih sementara (DPS) oleh KPU kabupaten/kota.

DPS itu kemudian dilaporkan ke KPU provinsi untuk dilakukan rekapitulasi tingkat KPU provinsi. Kemudian KPU provinsi melaporkan DPS hasil rekapitulasi ke KPU RI untuk direkapitulasi, dan kemudian DPS itu diumumkan secara luas.

Pengumuman DPS biasanya dilakukan secara luas melalui papan pengumuman di kantor desa/kelurahan, atau di RT/RW di seluruh Indonesia. KPU kabupaten/kota juga membuka kesempatan bagi seluruh elemen masyarakat pemilih mengecek namanya di DPS, kemudian menyampaikan masukan dan tanggapan kepada KPU untuk perbaikan DPS. Salinan DPS ini juga diserahkan ke parpol di tingkat kecamatan. Setelah memperoleh masukan dan tanggapan masyarakat, parpol dan Bawaslu secara berjenjang, KPU kemudian mengolah data DPS itu menjadi Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP). Siklus yang sama kemudian dilakukan oleh KPU RI dan jajarannya untuk kembali mengolah DPSHP menjadi daftar pemilih tetap.

De Jure vs De Facto
Tapi sesungguhnya proses pemutakhiran data pemilih mulai dari coklit hingga menjadi DPT tidaklah semudah seperti alur cerita di atas. Banyak dinamika yang harus dihadapi Pantarlih dalam pelaksanaan coklit di lapangan. Mulai dari kondisi geografis khususnya di wilayah-wilayah sulit dan terpencil sampai masalah administrasi kependudukan dan kondisi masyarakat yang dinamis. Acapkali permasalahan yang terjadi adalah data penduduk yang disediakan dalam DP4 tidak dinamis seiring dengan dinamika penduduk. Kesadaran masyarakat untuk pengurusan dokumen kependudukan terkait pindah domisili, perubahan status dan meninggal dunia terbentur dengan alasan prosedur yang panjang, atau mungkin
kemudahan pelayanan dari Dukcapil belum sepenuhnya tersampaikan dan dipahami masyarakat. Kondisi inilah yang selalu ditemukan Pantarih di lapangan.

Kondisi ril yang ditemukan Pantarlih terhadap penduduk yang pindah domisili tanpa disertai dokumen kependudukan masih banyak ditemui saat coklit Pemilu 2024 ini. Jika menganut asas de facto, keadaan ini sangat memungkinkan munculnya pemilih ganda. Namun KPU telah mengantisipasi dengan menerapkan asas de jure dalam pelaksanaan coklit. Pemutakhiran data pemilih Pemilu 2024 dilakukan berdasarkan asas de jure (sesuai
hukum), artinya pemilih yang di data sesuai dengan kepemilikan alamat yang tertuang di KTP elektronik bukan berdasarkan di mana dia tinggal ( de facto ) saja. Pantarlih tidak boleh menghapus nama pemilih yang tertuang dalam DP4 meskipun ada informasi pemilih tersebut sudah pindah domisili. Begitu pula Pantarlih tidak boleh memasukkan pemilih yang
tidak sesuai alamat KTP di wilayah kerjanya. Oleh karenanya jika menemukan rumah warga yang belum tertempel stiker coklit, bisa jadi karena mereka adalah warga baru namun masih memiliki dokumen kependudukan di wilayah asalnya.
 
Pertanyaan kemudian yang muncul, bagaimana mereka memilih saat pemilu nanti? Untuk kasus seperti ini mereka harus memiliki form A5 atau surat pindah memilih. Informasi ini
menjadi tugas KPU beserta jajarannya untuk memberikan pemahaman kepada pemilih.

Problem berikutnya yang tidak kalah peliknya adalah pemilih meninggal dunia. Tidak sedikit Pantarlih yang menemukan nama yang terdaftar di DP4 ternyata sudah meninggal dunia dan tanpa memiliki dokumen akta kematian. Data kependudukan yang bersumber dari DP4 tetap mencantumkan nama-nama orang yang sudah meninggal selama ahli warisnya belum
mengurus akta kematian. Sedangkan dalam banyak kesempatan akta kematian menjadi dokumen yang jarang diurus oleh pihak keluarga.
 
Sementara pihak Disdukcapil sendiri lebih banyak menunggu permintaan dari masyarakat
dalam menerbitkan suatu akta kematian. Akibatnya ketika keluarga tidak mengajukan permintaan akta kematian (maka banyak kematian tidak memiliki akta kematian) sehingga orang mati tetap saja bercokol dalam data pemilih. Ini tentu menjadi persoalan ketika Pantarlih melakukan coklit berdasarkan asas de jure. 
 
Pemerintah dalam hal ini Dukcapil harus segera mengambil langkah terhadap data ril pemilih meninggal yang ditemukan Pantarlih dengan menerbitkan akta kematian. Selain bertujuan
untuk menciptakan kepercayaan publik terhadap akurasi data pemilih juga bertujuan agar data pemilih meninggal tidak muncul kembali pada pemilu atau pemilihan selanjutnya.

Perlu ada pembenahan kesadaran dari KPU, Dukcapil, serta Bawaslu dalam bentuk ikhtiar maksimal untuk mewujudkan pemilu yang demokratis dengan mengambil beberapa langkah pembenahan yang bisa dilakukan untuk memperbaiki daftar pemilih. Menyikapi kondisi ini, KPU, Dukcapil, Bawaslu, dan peserta pemilu harus selalu bersinergi untuk bersama-sama
melakukan pencermatan data pemilih guna menghasilkan data pemilih yang benar-benar akurat, komperhensif, dan mutakhir. Perlu dingat bahwa ketidaktercatatan kependudukan secara administratif dapat menghilangkan kesempatan atau hak pilih untuk pemilu. Dengan kata lain, problem administratif akan dapat menghilangkan hak politik warga negara.

Problematika yang prinsipil ini harus dituntaskan oleh pemangku tanggung jawab untuk menghindari kerugian konstitusional dalam pelaksanaan pemilu dan demi menjaga kedaulatan suara rakyat. (*)
Share:

Comments



Blog Archive